HELOBEKASI.COM, JAKARTA - Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) disetujui menjadi usul inisiatif DPR RI. Kesepakatan ini diambil dalam Rapat Paripurna ke-22 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2023-2024.
Salah satu usulan perubahannya yakni mengubah nomenklatur Wantimpres menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Badan Legislasi (Baleg) DPR RI akan mengubah Dewan Pertimbangan Presiden menjadi Dewan Pertimbangan Agung lewat revisi Undang-Undang Wantimpres.
Ketua Badan Legislasi DPR RI Supratman Andi Agtas mengatakan Dewan Pertimbangan Agung akan menjadi lembaga negara yang diatur berdasarkan fungsinya.
Sehingga nomenklatur kedudukan Dewan Pertimbangan Agung diatur dalam Undang-Undang.
“Karena di dalam UUD itu sekarang tidak ada lagi lembaga tinggi, tidak ada lagi lembaga tertinggi negara, yang ada adalah lembaga negara,” kata Supratman setelah rapat Baleg di Kompleks Parlemen DPR RI, Jakarta Pusat, Selasa, 9 Juli 2024.
Menyoal Revisi Mendadak UU Wantimpres
Baleg DPR RI tiba-tiba menyusun revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Padahal revisi beleid ini tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas.
Dalam rapat pengambilan keputusan tersebut, ada sembilan fraksi partai politik yang menyetujui untuk membawa RUU Wantimpres ke paripurna untuk disahkan sebagai RUU inisiatif DPR.
"Ini, kan, baru pengesahan jadi usul inisiatif dalam rangka penyusunan," kata Ketua Baleg DPR RI, Supratman Andi Agtas, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (9/7/2024).
Setelah dibawa ke paripurna, RUU inisiatif DPR ini bakal dikirim ke pemerintah. Kemudian akan menunggu pemerintah menerbitkan Surat Presiden (Surpres) bersama Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) untuk ditindaklanjuti kembali oleh DPR RI.
Salah satu poin yang akan disesuaikan dalam penyusunan RUU tersebut adalah perubahan nomenklatur yang awalnya Wantimpres, menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Perubahan lainnya juga terjadi pada keanggotaan.
Dalam undang-undang lama, anggota Wantimpres berjumlah delapan. Sementara dalam RUU ini, jumlah anggota akan diserahkan kepada presiden sesuai dengan kebutuhannya.
Baleg DPR RI juga akan mengubah syarat-syarat untuk menjadi anggota DPA. Sementara Ketua DPA nantinya akan ditentukan presiden.
"Karena itu presiden akan menetapkan anggotanya berapa pun itu sesuai kebutuhan presiden, termasuk ketuanya juga nanti akan ditetapkan oleh presiden," ujar Supratman.
Saat disinggung mengenai apakah DPA akan sejajar dengan presiden karena statusnya sebagai lembaga negara, ia tidak menjawab detail. DPA, kata dia, hanya akan menjadi lembaga negara yang diatur berdasarkan fungsinya.
“Nah sama dengan Dewan Pertimbangan Presiden itu yang ada di dewan pertimbangan yang ada di Pasal 16 Undang-Undang Dasar itu menyebut fungsi,” ujarnya.
Dalam UU 19/2006 memang kedudukan Wantimpres tidak dimaknai sebagai sebuah dewan pertimbangan yang sejajar dengan presiden atau lembaga negara lain seperti DPA pada masa sebelum perubahan UUD 1945.
Walau kedudukannya tidak sejajar, perubahan DPA ini bisa dibaca sebagai upaya bagi-bagi jabatan yang tidak sehat dalam kabinet Prabowo Subianto mendatang.
Jokowi Jadi Penasihat Prabowo?
Pembentukan DPA dikhawatirkan hanya untuk memberikan jabatan baru bagi para mantan penguasa. Karena Wantimpres saat ini saja, diisi oleh elite politik yang fungsinya tidak signifikan.
“Saya berpendapat itu bagian dari wadah yang diperluas. Mungkin untuk para tokoh lain,” ujar Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera, dikutip dari tirto id.
Jauh sebelum adanya RUU, kehadiran DPA disebut-sebut sebagai upaya untuk mengakomodir rencana presidential club yang digagas kubu Prabowo Subianto. Narasi ini juga diamplifikasi oleh Ketua MPR cum politikus Golkar, Bambang Soesatyo.
Menurut Bamsoet, sapaan akrabnya, DPA bisa dipakai sebagai alat formalisasi hubungan para presiden. Di mana isinya, adalah mantan-mantan presiden maupun wakil presiden.
Presiden Joko Widodo sendiri bahkan tidak mau menanggapi serius adanya wacana pembentukan Dewan Pertimbangan Agung oleh presiden terpilih Prabowo Subianto.
Jokowi mengatakan dirinya masih menjadi presiden saat ini dan belum ada bayangan untuk bergabung ke dalam DPA.
"Ini saya itu masih jadi presiden loh, masih presiden sekarang ini," singkat Jokowi saat melakukan kunjungan kerja di RSUD Konawe, Sulawesi Tenggara, Selasa (14/5/2024).
Revisi UU Wantimpres untuk Jokowi?
Mardani belum melihat tujuan revisi UU Wantimpres yang menghadirkan lagi DPA untuk membuka jalan bagi mantan presiden, termasuk Jokowi. Tapi yang pasti, kata Mardani, DPA jangan sampai dijadikan alat transaksi.
“Tidak yakin itu untuk Pak Jokowi. Mungkin untuk para tokoh lain,” imbuhnya.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR F-PKB, Luluk Nur Hamidah, berpendapat DPA bisa diisi oleh para negarawan selain mantan presiden. Namun, jika nantinya Prabowo memasukkan mantan presiden ke jajaran DPA, dirinya tidak masalah.
"Saya kira cara kita menghargai pemimpin bangsa atau pemimpin negara itu kan banyak cara. Nah saya kira mereka sudah transformasi menjadi negarawan. Jadi ada beliau former president, Pak SBY, Ibu Megawati atau Pak Jokowi, misalnya, ya mungkin ada juga perwakilan dari keluarga Gus Dur dan lain-lain," ucap Luluk di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (10/7/2024).
"Intinya termasuk tokoh-tokoh yang lain karena tidak mesti harus juga presiden yang itu bisa ada di DPA," sambung dia.
Dalam keterangan terpisah, analis politik dari Indonesia Political Opinion, Dedi Kurnia Syah, mengatakan secara umum perubahan status dan urgensi keberadaan Wantimpres tidak berdampak apa pun pada proses kelanjutan pembangunan ke depan.
Pasalnya, Wantimpres atau yang akan berubah menjadi DPA hanya sebatas badan komisioner kepresidenan, tidak memiliki kekuatan hukum atas keputusan pertimbangannya, sehingga kendali keputusan tetap pada presiden.
“Jika dikembalikan sebagaimana masa lalu dengan Dewan Pertimbangan Agung, ini tidak akan ubah substansi keberadaan, meskipun dengan menamai pertimbangan agung,” jelas dia, dikutip dari tirto id.
Dedi mengatakan, sekalipun ada Jokowi di DPA tetap tidak bisa menjamin ia mempengaruhi pembangunan ke depan. Karena keputusan tetap ada di presiden. Kecuali, jika DPA diberi wewenang intervensi presiden dan memiliki kekuatan hukum, maka ini lain soal.
“Tapi jika itu yang terjadi, maka Jokowi dicurigai berupaya menguasai negara ini secara pribadi, dan sikap serta upaya semacam itu harus dihentikan,” ujarnya.
Sementara itu, Juru Bicara PDI Perjuangan, Chico Hakim, mengaku tidak mau terlalu pusing untuk berpikir atau mengira-ngira bahwa ini adalah bagian untuk memuluskan siapa pun untuk duduk dalam posisi tersebut, termasuk Jokowi. Pasalnya PDIP sendiri, kata Chico, lebih fokus pada hal-hal yang sifatnya substantif.
“Jadi intinya kami tidak terlalu pusing untuk berpikir atau mengira-ngira bahwa ini adalah bagian untuk memuluskan siapa pun,” ujar Chico kepada Tirto, Rabu (10/7/2024).
Chico mengatakan, hal-hal terkait dengan bagi-bagi jabatan tidak terlalu menjadi prioritas di dalam pemikiran PDIP saat ini. PDIP ke depan fokusnya memikirkan bagaimana rakyat bisa hidup sejahtera dan bisa mendapatkan pendidikan yang layak, biaya serendah-rendahnya bahkan bisa dibebaskan biayanya. Serta hal-hal yang lebih menyangkut terkait dengan ketahanan sosial bagi seluruh rakyat di Indonesia.
“Tentu kita lebih fokus pada hal-hal yang sifatnya substantif. Tentu bagaimana pembangunan ini bisa berjalan dengan lancar, dengan segala utang yang begitu banyak dan jatuh temponya salah satunya pada tahun depan, yaitu sekitar Rp800 triliun. Ini juga harus banyak dipertimbangkan atau dipikirkan dan dicarikan solusinya untuk ke depannya,” ujarnya.
PDIP melihat RUU tersebut tidak lebih hanya perubahan dari sebuah nama saja. Bisa jadi, kata Chico, presiden terpilih Prabowo Subianto lebih nyaman dengan sebutan DPA ketimbang Wantimpres.
“Mungkin Pak Prabowo yang juga berkiprah di masa orde baru lebih nyaman dengan sebutan apa yang memang menjadi nomenklatur di masa orde baru bagi sekelompok tokoh senior,” tukas dia.
Sementara itu, pakar politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH), Emrus Sihombing, berharap DPA ke depan diisi oleh pemikir yang sudah memiliki reputasi dan integritas tinggi. Jangan kemudian, untuk memberikan jabatan baru bagi para mantan penguasa atau politisi.
“Kalau mereka ada di sana, justru mereka bisa jadi tidak objektif atau itu menjadi forum lobi-lobi. Sebaiknya diisi para akademisi yang sudah reputasinya tidak diragukan dan sudah selesai dengan dirinya,” kata dia dikutip dari tirto id.
Sementara itu, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menyebut kemunculan RUU Wantimpres di penghujung periode dinilai untuk persiapan pemerintahan baru yang akan datang.
“Beberapa RUU sebelumnya juga dibahas untuk kepentingan yang sama seperti RUU Kementerian Negara, RUU polri, RUU TNI dll,” tegas Lucius, Kamis (11/7/2024). Dikutip dari Media Indonesia.
“Jadi jelas unsur pesanan dalam perencanaan dan pembahasan RUU-RUU tersebut sangat jelas terlihat,” tambahnya.
Dengan sisa waktu masa bakti DPR yang tinggal satu masa sidang lagi, Lucius mengatakan pembahasan RUU-RUU cuma untuk mengakomodir pesanan pemerintahan yang akan datang saja.
“Bahaya segera terlihat ketika UU hanya dibuat untuk memenuhi pesanan. Sulit rasanya melihat hasil yang berkualitas atau terakomodir nya kepentingan publik. Bahkan sekedar untuk melibatkan publik dalam proses pembahasan pun rasanya sulit,” tuturnya.
Lucius menyayangkan DPR kali ini akan tercatat menghasilkan produk legislasi yang rentan merusak konsolidasi demokrasi dengan menghadirkan UU yang hanya memuaskan kepentingan elite yang akan berkuasa.
Sementara itu, Pakar hukum tata negara Feri Amsari secara tegas menyampaikan bahwa ide untuk memunculkan kembali Dewan Pertimbangan Agung (DPA) melalui revisi UU Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) jelas melawan konstitusi.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) secara eksplisit disebutkan bahwa DPA dihapus. Jadi, usulan untuk memunculkan kembali DPA melalui revisi UU Wantimpres otomatis menyalahi amanat konstitusi.
"Secara konstitusional tidak mungkin namanya Dewan Pertimbangan Agung. Eksplisit di dalam ketentuan UUD, DPA itu dihapus. Jadi kalau kemudian dibuat berdasarkan UU atau peraturan yang lebih rendah, itu berarti jelas melawan konstitusi," jelas Feri, Kamis (11/7/2024). Dikutip dari Media Indonesia.
Feri juga mengaku heran apa yang membuat DPR ingin kembali memunculkan DPA. Para anggota parlemen itu diduga tidak membaca UUD 1945 secara menyeluruh.
"Aneh juga. Apakah ini berdasarkan bacaan terhadap konstitusi atau UUD kita? Atau sekadar romantisme memberikan nama sesuai sejarah masa lalu? Menurut saya, simak dulu UUD nya. Baru kemudian bisa memikirkan langkah yang tepat bagi ketatanegaraan kita," ungkap Feri.
Dia juga menduga ide untuk memunculkan kembali DPA untuk mengembalikan simpul-simpul UUD sebelum perubahan yang membuat presiden punya ruang untuk berkuasa terus menerus atau seumur hidup.
"Ini juga untuk mempertahankan simpul-simpul antireformasi konstitusi di mana militer dan polisi punya dwifungsi yang membuat tata kelola kenegaraan kita berantakan," pungkasnya.
Sementara itu, Pakar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menilai gagasan membangkitkan DPA merupakan langkah untuk kembali ke era Orde Baru.
Dia mengatakan bahwa sebelum amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan, DPA tertuang dalam konstitusi, tetapi kini sudah dihapus usai amandemen pada tahun 2004.
"Itu seperti mau kembali ke zaman Orde Baru banget," kata Bivitri melalui keterangannya, Selasa, 9 Juli 2024. Dikutip dari tempo.
Adapun Baleg DPR menyepakati revisi Undang-undang Perubahan atas UU Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden tersebut dibawa ke paripurna.
Nantinya status dewan pertimbangan ini akan beralih dari lembaga pemerintah menjadi lembaga negara sehingga akan berkedudukan sejajar dengan presiden.
Bivitri mengingatkan bahwa pada masa peralihan Orde Baru menuju Reformasi, penolakan terhadap DPA disampaikan oleh masyarakat sipil beserta para ahli hukum, seperti Jimly Asshiddiqie, Bagir Manan, dan Sri Soemantri.
"Semuanya bersepakat merapikan sistem ketatanegaraan. Enggak ada lagi lembaga yang levelnya terlalu tinggi yang kerja dan wewenangnya tidak signifikan," ujarnya.
Pada masa Orde Baru, kata Bivitri, DPA tidak memiliki fungsi penting, selain memberikan saran kepada presiden. Oleh sebab itu, dia mempertanyakan urgensi perubahan Wantimpres menjadi DPA yang diinisiasi oleh DPR.
"Presiden sudah lebih dari cukup untuk mendapatkan masukan. Dia punya seluruh squad dengan adanya para menteri," tuturnya.
Senada dengan Bivitri, Peneliti Pusat Studi Antikorupsi Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah turut memberikan kritik. Dia mempertanyakan dasar hukum pembentukan kembali DPA di luar tubuh lembaga kepresidenan.
Herdiansyah menyampaikan pembentukan DPA tidak memiliki dasar hukum yang kuat di dalam konstitusi meski dahulu lembaga itu pernah diatur secara khusus dalam Bab IV UUD 1945.
"Setelah reformasi, lembaga itu ditarik (pemerintah) dan berubah menjadi Wantimpres," ucap Herdiansyah kepada Tempo melalui sambungan telepon, Selasa, 9 Juli 2024.
Ahli hukum tata negara itu menegaskan sebuah lembaga yang membantu presiden seharusnya berada di dalam lembaga kepresidenan, bukan berdiri sendiri sebagai lembaga khusus.
"Posisi dewan pertimbangan itu adalah di bawah cabang kekuasaan eksekutif," katanya.
Sementara itu, M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan, menilau hal ini menjadi upaya pencarian tempat untuk Jokowi dalam rangka “memperpanjang masa jabatan” sebagaimana impiannya.
Rizal Fadillah pun menilai DPR RI dengan langkah tersebut menjadi lembaga bodoh atau membodohi dirinya sendiri dengan rencana revisi UU yang berdasar pada kesepakatan dengan Pemerintah itu, karena :
Pertama, DPA adalah lembaga yang ada dalam UUD 1945 lama yang oleh MPR telah dihapuskan melalui Amandemen UUD. Kehendak untuk mengadakan kembali DPA harus melalui mekanisme Amandemen MPR lagi. Artinya hal ini bukan kewenangan DPR.
Kedua, revisi UU Wantimpres harus berorientasi pada peningkatan fungsi “nasihat” atau “pertimbangan” kepada Presiden. Jangan seperti saat ini di mana Wantimpres hanya sebagai wadah atau lembaga “museum” bagi para sesepuh bangsa. Makan gaji buta.
Ketiga, menguras otak dengan mengotak-atik aturan demi penempatan Jokowi setelah tidak menjadi Presiden adalah salah besar. Apalagi jika hal ini menjadi bentuk “balas jasa” Prabowo untuk Jokowi. DPR menjadi alat kepentingan politik pragmatik. Akal-akalan Pemerintah.
Jika ingin menghidupkan kembali DPA sebagai Lembaga Tinggi Negara, tegas Rizal, maka jalannya adalah Amandemen UUD 1945 lagi atau kembali ke UUD 1945 yang asli. Itu kerja MPR. Jika revisi UU No. 19 tahun 2006 dipaksakan untuk kemudian mendudukkan DPA sejajar dengan Presiden, maka dengan cepat setelah hasil revisi diundangkan, akan banjir guliran Judicial Review untuk pembatalan UU yang dinilai bertentangan dengan Konstitusi tersebut.
“Jadi ‘ngebut’ menipu rakyat melalui revisi akan dibalas oleh ‘ngebut’ rakyat untuk melakukan uji materiel. Kegaduhan baru dibuat oleh DPR dan Pemerintah. Akhirnya pengabdian atau penghambaan DPR kepada Jokowi untuk duduk di singgasana Ketua DPA diprediksi akan gagal total,” kecamnya.
Menurutnya, memang DPR ini seperti kurang kerjaan dan mengada-ada. “Rugi besar rakyat harus menggaji anggota DPR dengan kualitas kerja seperti ini. Rakyat berhak untuk marah!” serunya.
Jokowi Ogah Pusing
Presiden Jokowi ogah pusing menyikapi langkah DPR merevisi UU Wantimpres dan mengganti nomenklatur menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Jokowi menilai hal itu menjadi domain DPR, sekalipun nantinya bakal dibahas dan disahkan bersama pemerintah.
Menurut Jokowi, perubahan UU Wantimpres yang menjadi inisiatif DPR sehingga perdebatannya biar terjadi di parlemen. Sementara revisi menjadi kontroversi karena di luar agenda prolegnas.
“Itu inisiatif dari DPR. Tanyakan ke DPR,” kata Jokowi dalam sela-sela kunjungan ke Bandan Hurip, Lampung Selatan, Lampung, Kamis (11/7).***
Social Plugin