Soal Utang Rafaksi Minyak Goreng ke Pengusaha Ritel, Pemerintah Bakal Rakor dengan Sejumlah Kementerian/Lembaga




HELOBEKASI.COM, JAKARTA Utang minyak goreng alias migor dari pemerintah ke perngusaha ritel akan kembali dibahas pemerintah dalam rapat koordinasi (rakor) bersama beberapa kementerian lembaga (K/L) yang akan berlangsung dalam waktu dekat.

Plt Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan (Kemendag) Suhanto mengatakan, bahwa rakor ini akan digelar setelah sekian lama hanya sekadar wacana karena adanya agenda pesta demokrasi di Indonesia.

“Mudah-mudahan setelah pemilu ini Menko (Airlangga Hartarto) sudah tidak repot,” ujar Suhanto dalam keterangannya, Jumat (16/2).

Suhanto menjelaskan, bahwa pihaknya memang membutuhkan koordinasi dengan kementerian/lembaga lain dalam memutuskan pembayaran utang selisih harga atau rafaksi migor yang sejatinya sudah sejak lama.

Sebab, dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) terdahulu di saat terjadinya kelangkaan minyak goreng juga melibatkan beberapa kementerian dan lembaga.

Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan sebelumnya telah meminta pendapat dari pihak Kejaksaan mengenai hal tersebut. Namun Kejaksaan secara hukum mewanti-wanti Kemendag untuk bersikap hati-hati.

“Mendag beranggapan karena ini adalah produk yang dikeluarkan bersama beberapa kementerian lembaga, tentu Mendag tidak berani mengambil keputusan sendiri, harus dirakorkan,” kata Suhanto.

Sebagaimana diketahui, perusahaan ritel seyogianya telah menunggu pembayaran selisih harga atau rafraksi penjualan minyak goreng sejak Februari 2022 lalu.

Saat itu, peritel diwajibkan menjual minyak goreng satu harga Rp14.000 per liter, sesuai Peraturan Menteri Perdagangan No.3/2022. Padahal modal pembelian mereka sudah di atas Rp17.620 per liter.

Adapun jumlah utang rafaksi yang diklaim oleh para pengusaha ritel mencapai Rp344 miliar. Namun, proses pembayaran tersebut masih terhambat di Kemendag yang tak kunjung menyerahkan hasil verifikasi kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BDPKS) sebagai lembaga yang berwenang untuk membayarkan utang rafaksi.

Kemendag berdalih, dasar hukum aturan rafaksi tidak berlaku lagi hingga meminta pendapat hukum dari Kejaksaan Agung (Kejagug) dan meminta Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk meninjau ulang hasil audit yang dilakukan Sucofindo. Sebab, terdapat perbedaan antara nilai utang yang diklaim peritel dengan hasil verifikasi Sucofindo.

Meskipun pendapat hukum Kejagung menyatakan ada kewajiban pemerintah membayar utang rafaksi tersebut, dan penolakan BPKP untuk mengaudit ulang, namun Kemendag dinilai masih belum menunjukkan adanya tanda-tanda untuk menyelesaikan polemik utang tersebut.***