Saat Nasib Keselamatan Lingkungan Pesisir di Tangan 9 Hakim Konstitusi

 

sumber : detik.com


HELOBEKASI.COM, JAKARTA - UU melarang penambangan mineral di wilayah pesisir dan pulau terluar. Namun PT GKM menggugat aturan itu ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar diizinkan menambang di lokasi yang dilarang itu. Warga tak tinggal diam dan menjadi pihak di MK.

Hal itu tertuang dalam website MK yang dikutip detikcom, Minggu (3/9/2023). PT GKM merupakan suatu badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas yang memiliki Ijin Usaha Pertambangan di wilayah yang tergolong Pulau Kecil.

Niat PT GKM menambang mineral di Sulawesi terhalang oleh Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pasal 23 ayat (2) berbunyi:

Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk kepentingan sebagai berikut:

a. Konservasi.
b. Pendidikan dan pelatihan.
c. Penelitian dan pengembangan.
d. Budi daya laut.
e. Pariwisata.
f. Usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan secara lestari.
g. Pertanian organik.
h. Peternakan dan/atau.
i. Pertahanan dan keamanan negara.

dan Pasal 35 huruf k berbunyi bahwa:

Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.

Meski sudah ada UU yang melarang, tapi ternyata lahir Peraturan Daerah (Perda) Konawe Kepulauan Nomor 2 Tahun 2021 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Konawe Kepulauan. Isinya menetapkan alokasi ruang kegiatan pertambangan di daerah kawasan pesisir di Pulau Wawonii.

Padahal, Kabupaten Konawe Kepulauan termasuk kategori pulau kecil, yang prioritas pemanfaatannya sebagaimana termuat dalam Pasal 23 ayat (2), tidak satu pun menempatkan kegiatan pertambangan sebagai salah satunya.

Warga tidak terima dan mengajukan judicial review ke MA dan dikabulkan. Majelis judicial review yang diketuai Irfan Fachruddin dengan anggota Yosran dan Is Sudaryo membatalkan Perda 2/2021 itu.

"Menyatakan Pasal 24 huruf d, Pasal 28, dan Pasal 36 huruf c Peraturan Daerah Kabupaten Konawe Kepulauan Nomor 2 Tahun 2021 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Konawe Kepulauan Tahun 2021-2041 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," demikian bunyi putusan MA itu.

Di antara pasal yang dihapus yaitu Pasal 28 ayat (1) yang berbunyi:
(1) Kawasan pertambangan dan energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf d seluas 41 (empat puluh satu) hektar berupa Kawasan pertambangan logam terdapat di Kecamatan Wawonii Tenggara dan Kecamatan Wawonii Timur.

(2) Pemanfaatan ruang kawasan pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam ketentuan umum zonasi dan mengikuti ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku;
(3) Kawasan pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digambarkan dalam peta rencana pola ruang sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII tang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Apa alasan MA menghapus sebagian Perda itu?

"Bahwa secara filosofis, Kabupaten Konawe Kepulauan merupakan pulau kecil termasuk wilayah yang rentan dan sangat terbatas sehingga membutuhkan perlindungan khusus. Segala kegiatan yang tidak ditujukan untuk menunjang kehidupan ekosistem di atasnya, termasuk namun tidak terbatas pada kegiatan pertambangan dikategorikan sebagai abnormally dangerous activity yang dalam teori hukum lingkungan harus dilarang untuk dilakukan, karena akan mengancam kehidupan seluruh makhluk hidup di atasnya, baik flora, fauna, maupun manusianya. Bahkan juga mengancam kehidupan sekitar," papar hakim agung Irfan Fachruddin dengan anggota Yosran dan Is Sudaryo.

Mendapati kekalahan itu, GKM tidak habis akal. Diam-diam, GKM malah menggugat UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ke MK. GKM meminta UU mengecualikan sehingga dirinya bisa menambang di kawasan pesisir dan pulau terluar. GKM meminta agar Pasal 23 ayat 2 diubah menjadi:

'tidak sebagai larangan terhadap kegiatan lain selain yang diprioritaskan, termasuk larangan kegiatan pertambangan, berikut sarana, dan prasarananya'.

Adapun Pasal 35 huruf k, GKM meminta dimaknai:

'tidak sebagai larangan terhadap kegiatan pertambangan secara mutlak tanpa syarat'

"Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf (k) UU 1/2014 bila ditafsirkan sebagai larangan terhadap kegiatan pertambangan secara mutlak tanpa syarat, maka seluruh tata ruang terhadap Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang diatur oleh Peraturan Daerah akan bertentangan dengan Undang-Undang a quo dan harus dilakukan perubahan. Akibatnya, seluruh perusahaan yang berusaha di bidang pertambangan di wilayah-wilayah tersebut harus dihentikan pula. Tentu hal ini akan merugikan banyak perusahaan tambang, dan sama halnya dengan Pemohon, mereka telah pula melaksanakan kewajiban pembayaran kepada negara," alibi GKM berdalih.

Nah, MK telah menggelar sidang pendahuluan I dan sidang Pendahuluan II. Rencananya, MK menggelar sidang ketiga dengan mendengar keterangan pihak pemerintah dan DPR pekan lalu. Tapi, ternyata eksekutif dan legislatif berhalangan. MK akhirnya menunda sidang hingga 12 September 2023 dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Presiden.

"Dari kuasa presiden sudah ada surat permohonan meminta untuk mendengarkan keterangannya ditunda pada sidang yang akan datang. Kemudian dari DPR sampai hari ini atau saat ini belum ada pemberitahuan kesiapannya," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang.

Warga yang mengetahui GKM menggugat UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ke MK tidak tinggal diam. Mereka ramai-ramai mendaftar sebagai pihak terkait menjadi pihak di MK. Atas berbagai pertimbangan, MK menyetujui masuknya warga jadi pihak di kasus itu.

"Ada permohonan menjadi Pihak Terkait dan sudah disetujui oleh majelis sehingga nanti mungkin persidangan yang akan datang akan dipanggil sekaligus. Nanti ada surat pemberitahuan dari Kepaniteraan MK," ujar Anwar selaku pimpinan sidang.

Nah, beranikah 9 hakim konstitusi menjadi penyelamat lingkungan dan terdepan dalam menjaga alam Indonesia?

(sumber : detik.com)