Klaim Kantongi Data Intelijen Seluruh Informasi 'Jeroan' Parpol, Jokowi Ingin Dipandang sebagai King Maker?

 



HELOBEKASI.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat membuka acara rapat kerja nasional (rakernas) relawan Seknas (Sekretariat Nasional) Jokowi di Hotel Salak, Kota Bogor, Jawa Barat, Sabtu (16/9/2023) lalu, mengaku bahwa dirinya memiliki informasi intelijen dari berbagai pihak, dan juga informasi mengenai data terbaru, hingga arah politik dari setiap partai politik (parpol).

“Dalamnya partai seperti apa saya tahu, partai-partai seperti apa saya tahu. Ingin mereka menuju kemana saya tahu. Informasi yang saya terima komplit,” kata Presiden Jokowi dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi di Kota Bogor, Jawa Barat, Sabtu (16/9/2023).

Presiden mengatakan dirinya memiliki informasi intelijen dari berbagai pihak, dan juga informasi mengenai data terbaru, hingga survei terkait partai politik.

“Dari intelijen saya ada, BIN (Badan Intelijen Negara). Dari intelijen di Polri, ada. Dari intelijen di TNI, saya punya, BAIS (Badan Intelijen Strategis), dan info-info di luar itu. Angka, data, survei, semuanya ada,” kata Jokowi.

Informasi tersebut hanya dimiliki Presiden Jokowi karena diberikan intelijen secara langsung.

“Dan itu hanya miliknya Presiden. Dia (informasi) itu langsung,” ujar Jokowi.

Jokowi Ingin Dipandang sebagai King Maker?

Direktur Parameter Politik Indonesia (PPI) Adi Prayitno menilai maksud dari ucapan tersebut, Jokowi ingin menunjukkan ke publik bahwa dirinya paham betul terkait situasi politik terkini di tanah air.

"Sekali pun bukan ketua umum partai, tapi Jokowi itu adalah king maker yang sesungguhnya, karena begitu banyak informasi, data-data, 'jeroan' dari partai pun Jokowi paham betul dalam konteks itu," kata dia.

Menurut Adi, Jokowi juga ingin menjelaskan mengenai konfigurasi politik saat ini. Sebab kata Adi, banyak politikus yang menampilkan sikap berbeda di depan dan di belakang publik.

Adi meyakini pesan yang sebenarnya ingin disampaikan kepada publik, Jokowi ingin masyarakat paham bahwa apa yang terjadi saat ini masih sebatas dinamika politik.

"Kedua, konfigurasi politik saat ini secara tidak langsung mungkin ingin dijelaskan oleh pernyataan Jokowi itu masih cukup dinamis dan cukup cair. Karena sebelum ada keputusan resmi dari KPU soal gabungan parpol yang mengusung capres dan cawapres apapun bisa terjadi. Karena sering kali partai-partai ini berbeda panggung depannya dan panggung belakang," ucapnya.

NasDem: Mestinya Tak Dibuka ke Publik

Wakil Ketua Umum Partai NasDem Ahmad Ali angkat bicara soal klaim Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengaku telah mengantongi data intelijen terkait informasi 'jeroan' seluruh partai politik (Parpol).

Ia menyesalkan pernyataan tersebut dilontarkan oleh seorang kepala negara. Ali khawatir dampak dari pernyataan Jokowi bisa menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat, mengingat situasi politik terkini sedang menghangat jelang pemilu.

"Ya memang saya agak kaget ketika itu disampaikan ke publik. Mestinya itu kan harusnya nggak disampaikan ke publik sehingga tidak muncul multitafsir," ucapnya.

Meski tak menyebut nama, hanya sebata penegasan semata, namun Ali menilai semestinya pernyataan sensitif seperti itu tidak perlu dibuka di publik. Sebab, semua orang juga sudah paham bahwa sebagai kepala negara pemerintahan tentu memiliki semua data-data intelijen.

"Memang harus memiliki data itu, karena sebagai upaya pencegahan, deteksi dini, bukan cuma parpol. Sudah seharusnya semua kelompok-kelompok bernegara memiliki data itu kan. Potensi terjadinya kegaduhan," tutur dia.

Intelijen yang Dikantongi Jokowi Bukan Hasil Penyadapan

Partai Demokrat enggan berspekulasi dan memilih berbaik sangka soal ucapan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengaku sudah mengantongi data intelijen terkait informasi 'jeroan' partai politik (parpol).

Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat, Kamhar Lakumani mengaku pihaknya sama sekali tidak terganggu dengan pernyataan tersebut. Ia memahami bahwa sebagai presiden, tentu Jokowi setiap harinya menerima laporan intelijen.

"Yang disampaikan Pak Jokowi, kami menilai itu hanya merupakan hasil analisis berdasarkan informasi intelijen saja, bukan hasil intersepsi (penyadapan) terhadap keputusan atau dokumen partai yang bersifat konfidensial," kata dia.

Kamhar memperkirakan data intelijen yang didapat Jokowi berdasarkan saintifik. Namun, jika data intelijen yang didapat dengan cara menyadap, Kamhar mengatakan hal itu sangat berbahaya dan mencederai demokrasi.

Ia juga menyarankan agar ke depan, Jokowi bisa lebih berhati-hati berbicara ke publik, lebih selektif dalam menyampaikan sesuatu agar tidak menimbulkan kegaduhan di masyarakat. "Jadi untuk menghindari polemik yang tidak perlu, ada baiknya Pak Jokowi lebih selektif dalam membuat pernyataan," ucapnya.

Mahfud MD: Namanya Presiden Bisa Tahu Apa Saja

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, Presiden pasti mengetahui data intelijen. Sebab, ia mendapat laporan setiap harinya.

"Pasti lah namanya Presiden bisa tahu apa saja. Termasuk parpol, itu tugasnya Presiden, keamanan, masalah isu hukum, apa apa yang sensitif di masyarakat Presiden setiap hari mendapat laporan dari intelijen, di mana pun Presiden harus begitu jadi itu benar," kata Mahfud.

Menurut Mahfud, Presiden tidak salah ketika mempunyai data intelijen. Bahkan, kata Mahfud, data yang dimiliki Presiden lebih lengkap dibanding Menteri.

"Ya enggak bisa (disalahkan) dong, emang laporan Presiden. Menteri aja punya apalagi Presiden. A lebih lengkap lagi. Kalau Menteri mungkin kalau Menko bisa bulanan itu dapat. kalau Presiden tiap hari, pagi ini ada apa, ini ada apa. Itu biasa, punya data parpol itu biasa, dah tahu semua," ucapnya.

Lebih lanjut Mahfud menegaskan, data yang diketahui Presiden tidak ada sangkut pautnya dengan Pemilu 2024.

"Ada Undang-Undang intelijen negara kan? Intelijen negara itu laporannya ke Presiden dan setiap saat. Bukan hanya di hari kerja dan di jam kerja. Bisa tengah malam juga bisa dapat info itu," sambungnya.

Bahkan, kata Mahfud, informasi yang didapat Presiden tak ada kaitannya dengan cawe-cawe keputusan setiap partai politik.

"Enggak urusan cawe-cawe, urusan (itu) tidak, itu tidak ada kaitannya. Ini Presiden pasti punya intelijen, siapa politikus yang nakal, siapa politikus yang benar. Siapa yang punya kerja gelap, siapa yang punya kerja terang itu punya Presiden," katanya.

Rakernas Seknas Jokowi di Kota Bogor, Jawa Barat

Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi digelar di Kota Bogor, Jawa Barat, Sabtu (16/9/2023) lalu.

Dalam acara relawan itu, Jokowi menjelaskan kepemimpinan ke depan sangat penting dan menentukan apakah Indonesia akan mampu melompat menjadi negara maju atau hanya berkutat sebagai negara berkembang.

Karena itu, pelaksanaan Pemilu untuk menentukan Presiden-Wakil Presiden selanjutnya yakni Pemilu 2024, Pemilu 2029, dan Pemilu 2034 akan sangat menentukan posisi bangsa Indonesia.

“Saya berikan contoh di Amerika Latin, banyak negara sudah jadi negara berkembang, tahun 60-an, tahun 70-an sudah jadi negara berkembang, tapi saat ini mereka juga masih negara berkembang. Tak bisa keluar dari jebakan. Kita tidak mau itu, dan kesempatan itu hanya ada di tiga periode kepemimpinan nasional kita,” kata dia.

Saat ini Indonesia memiliki peluang untuk melompat menjadi negara maju dari negara berkembang karena memiliki bonus demografi dan kebijakan hilirisasi sumber daya alam. Presiden mencontohkan salah satu kebijakan hilirisasi yakni penghentian ekspor bijih nikel dan menggantinya dengan produk bernilai tambah yang telah memberikan penerimaan negara secara signifikan.

“Saya berpikiran negara ini harus jadi negara maju, negara makmur. Tapi memang kepemimpinan itu sangat menentukan,” kata Presiden Jokowi.***

(sumber : westjavatoday.com)