HELOBEKASI.COM, JAKARTA - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia memastikan bahwa hak warga Rempang, Batam, Kepulauan Riau, dapat terpenuhi, namun juga menekankan bahwa rencana investasi di wilayah tersebut harus tetap berjalan.
Bahlil menegaskan, penanganan di lapangan merespons protes sebagian warga yang menolak pemindahan akan dilakukan dengan cara yang baik. Ia menekankan penting bagi pemerintah untuk memenuhi hak-hak masyarakat Rempang terkait dengan pemindahan warga Pulau Rempang ke Pulau Galang, Batam, Kepulauan Riau.
“Proses penanganan Rempang harus dilakukan dengan cara-cara yang soft, yang baik. Dan tetap kita memberikan penghargaan kepada masyarakat yang memang sudah secara turun-temurun berada di sana. Kita harus berkomunikasi dengan baik, sebagaimana layaknya lah. Kita ini kan sama-sama orang kampung. Jadi kita harus bicarakan,” kata Bahlil, Senin.
Bahlil hadir dalam Rapat Koordinasi Percepatan Pengembangan Investasi Ramah Lingkungan di Kawasan Pulau Rempang bersama Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Menteri Dalam Negeri, Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Wakapolri), Wakil Jaksa Agung, Gubernur Kepulauan Riau, Wali Kota Batam, dan pejabat daerah yang tergabung dalam Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kepulauan Riau dan Kota Batam pada Minggu (17/9), untuk menindaklanjuti arahan Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan masalah di Pulau Rempang.
Pulau Rempang dengan luas mencapai 17.000 hektare akan direvitalisasi menjadi sebuah kawasan yang mencakup sektor industri, perdagangan, hunian, dan pariwisata yang terintegrasi.
Inisiatif ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing Indonesia di kawasan Asia Tenggara. Untuk tahap awal, kawasan ini sudah diminati oleh perusahaan kaca terbesar di dunia asal Tiongkok, Xinyi Group yang berencana akan berinvestasi senilai 11,5 miliar dolar AS atau setara Rp174 triliun sampai dengan 2080.
“Total area itu kan 17.000 (hektare) tapi dari 17.000 (hektare) lebih itu kan ada sekitar 10.000 hektare itu kawasan hutan lindung yang nggak bisa kita apa-apain. Jadi areanya itu kurang lebih sekitar 7.000 (hektare) yang bisa dikelola. Untuk kawasan industrinya, tahap pertama itu kita kurang lebih sekitar 2.000-2.500 hektare,” ungkap Bahlil.
Terkait dengan penyiapan lahan pergeseran pemukiman warga, Bahlil mengatakan bahwa pemerintah akan menyiapkan hunian baru untuk 700 KK yang terdampak pengembangan investasi di tahap pertama. Rumah tersebut akan dibangun dalam rentang waktu 6 sampai 7 bulan. Sementara menunggu waktu konstruksi, warga akan diberikan fasilitas berupa uang dan tempat tinggal sementara.
“Pertama, pemerintah telah menyiapkan tanah seluas 500 meter persegi per kepala keluarga. Yang kedua adalah rumah dengan tipe 45 yang nilainya kurang lebih sekitar Rp120 juta. Dan yang ketiga adalah uang tunggu transisi sampai dengan rumahnya jadi, per orang sebesar Rp1,2 juta dan biaya sewa rumah Rp1,2 juta. Termasuk juga dengan tanam tumbuh, keramba ikan, dan sampan di laut. Semua ini akan dihargai secara proporsional sesuai dengan mekanisme dan dasar perhitungannya. Jadi yakinlah bahwa kita pemerintah juga punya hati,” sambungnya.
Selain pemenuhan hak masyarakat yang harus terus dikedepankan, Bahlil juga menyebut bahwa rencana investasi di Rempang harus tetap berjalan demi kepentingan rakyat. Menurutnya, investasi tersebut diperlukan untuk menggerakkan roda ekonomi dan penyerapan tenaga kerja.
“Investasi itu bukan seperti menanam buah dari sebuah pohon. Kita ini berkompetisi. FDI (Foreign Direct Investment/Penanaman Modal Asing) global terbesar itu sekarang ada di negara tetangga, bukan di negara kita. Ini kita ingin merebut investasi untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Kalau kita tunggunya terlalu lama, emang dia mau tunggu kita. Kita butuh mereka tapi juga kita harus hargai yang di dalam,” tegas mantan Ketua Umum Hipmi itu.
Bahlil juga menyampaikan bahwa akan banyak kerugian yang akan dirasakan, baik dari segi pendapatan pemerintah maupun perekonomian masyarakat jika potensi investasi tersebut tidak berhasil direalisasikan.
“Ini investasinya total Rp300 triliun lebih, tahap pertama itu Rp175 triliun. Kalau ini lepas, itu berarti potensi pendapatan asli daerah (PAD) dan penciptaan lapangan pekerjaan untuk saudara-saudara kita di sini itu akan hilang,” ujar Bahlil.
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Menteri ATR/Kepala BPN Hadi Tjahjanto mengatakan akan langsung diberikan sertifikat hak milik (SHM) untuk tempat tinggal warga yang mengalami pergeseran dari 16 titik Kampung Tua Pulau Rempang.
“ATR/BPN ingin langsung menyerahkan sertifikat. Jadi ketika sudah ditentukan di 16 titik, kita ingin menyerahkan sertifikat, sambil melakukan proses pembangunan dan diawasi oleh pemilik. Kami juga sudah sampaikan bahwa sertifikat itu agar disamakan dengan sertifikat 37 kampung tua yang sudah diserahkan, itu adalah dengan status SHM yang tidak boleh dijual, harus dimiliki oleh masyarakat yang terdampak tersebut,” kata Hadi.
Rp300 Triliun Disebut Bahlil Bakal Hilang Jika Xinyi Group Batal Investasi di Rempang
Bahlil Lahadalia mengingatkan, R9 300 Triliun bakal hilang jika perusahaan asal Tiongkok, Xinyi Group batal investasi di Pulau Rempang akibat konflik tidak teratasi.
Oleh karenanya, konflik agar segera teratasi untuk memperlancar investasi di Pulau Rempang.
Tidak jadinya investasi, maka kerugian bakal dialami Indonesia, baik mulai dari segi pendapatan pemerintah maupun perekonomian masyarakat.
"Ini investasinya total Rp 300 triliun lebih, tahap pertama itu Rp 175 triliun. Kalau ini lepas, itu berarti potensi pendapatan asli daerah (PAD) dan penciptaan lapangan pekerjaan untuk saudara-saudara kita di sini itu akan hilang," ujar Bahlil.
Oleh karenanya, sambung Bahlil, rencana investasi di Rempang harus tetap berjalan demi kepentingan masyarakat dan menggerakkan roda ekonomi serta penyerapan tenaga kerja.
Ditegaskan Bahlil, penanaman modal asing (FDI) global terbesar saat ini ada di negara tetangga. Sedangkan pemerintah Indonesia sedang bersaing menarik investor asing masuk ke dalam negeri.
"Ini kami ingin merebut investasi untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Kalau kita menunggunya terlalu lama, emang dia (investor) mau tunggu kita. Kita butuh mereka, tapi juga kita harus hargai yang di dalam," terang Bahlil.
Dalam rencana investasi Pulau Rempang, revitalisasi diperlukan untuk menjadikan sebuah kawasan yang mencakup sektor industri, perdagangan, hunian, dan pariwisata terintegrasi.
Rencana investasi demikian, sudah diminati investor yang salah satunya ialah Xinyi Group.
Perusahaan kaca terbesar di dunia asal Tingkok itu berencana akan berinvestasi senilai US$11,5 miliar atau setara Rp 174 triliun sampai dengan 2080.
Xinyi sendiri dari laporan pada website resminya mengatakan bahwa pendapatana tahunan mereka pada semester pertama 2023 mencapai 12.6 miliar dolar Hongkong atau sekitar 1.6 miliar dolar Amerika.
Xinyi Glass Holdings Co., Ltd
Diketahui, Xinyi Glass Holdings Co., Ltd merupakan pabrik kaca yang berdiri sejak 1988 dan mulai terdaftar di papan utama Bursa Efek Hong Kong pada bulan Februari 2005 dengan kode saham: 00868.HK.
Dalam situr resminya menyebutkan jika Xinyi Glass merupakan produsen kaca terintegrasi terkemuka di dunia, berkomitmen untuk memproduksi kaca apung, kaca otomotif, kaca arsitektur hemat energy dan produk lainnya.
Dalam usianya yang ke 35 tahun, Xinyi Glass telah mempunyai 12 basis produksi domestik utama yang berada di Delta Sungai Mutiara, Delta Sungai Yangtze, Zona Ekonomi Bohai Rim, Zona Ekonomi Chengdu-Chongqing, Lingkaran Ekonomi Yunnan Tengah, dan Zona Ekonomi Teluk Beibu.
Disebutkan juga jika Xinyi Glass tengah mengembangkan bisnisnya ke negara lain di antaranya di Malaysia dan Indonesia yang masih dalam persiapan.
Luhut Akui Pendekatan Penanganan Konflik Rempang Kurang Pas
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengakui pendekatan penanganan masalah di Rempang, Batam, Kepulauan Riau, memang kurang pas.
"Ya Rempang itu, mungkin ya kita sekarang lagi mau slow down. Saya pikir mungkin approach pendekatannya kemarin kurang pas," katanya, Selasa.
Menurut Luhut yang berpengalaman dalam banyak penanganan masalah investasi yang berhubungan dengan pembebasan tanah, seharusnya tidak ada masalah jika dilakukan identifikasi secara menyeluruh.
"Tapi selama saya yang menanganin, banyak pembebasan tanah, tidak ada masalah," katanya.
Luhut juga menilai umumnya masyarakat setempat yang terdampak dari pembangunan proyek investasi tidak akan menolak direlokasi asal mendapatkan penggantian yang setimpal.
"Karena harusnya kita identifikasi, rakyat itu pada umumnya mau, tidak ada masalah. Karena kalau mereka direlokasi, ada yang mau dikasih rumah dengan pekerjaan, sekolah dan sebagainya, ada juga yang mau uang saja, cash," katanya.
Luhut menuturkan, dalam berbagai konflik seperti yang terjadi di Rempang, bisa dipastikan ada oknum-oknum provokator yang memecah belah masyarakat. Namun, ia memastikan masalah tersebut seharusnya bisa diatasi.
"Kemudian yang provokator pasti ada itu, pasti dipisah-pisahkan," ujarnya.
Luhut meyakini, dengan sosialisasi yang baik, seharusnya masyarakat akan mau direlokasi ke tempat yang telah disiapkan pemerintah. Pemerintah sendiri juga telah menyiapkan penggantian yang setimpal bagi masyarakat.
"Saya sudah kirim tim ke sana supaya relokasi ini ditunjukkan kepada masyarakat, ini lho, apa yang masih kau kurang. Jadi dimana sekolah anakmu, dimana pekerja anakmu, dimana kamu bekerja dan sebagainya. Jadi kalau disosialisasikan dengan baik, menurut saya ndak ada masalah. Sekarang juga sedang dikerjakan," katanya.
Luhut menyebut Rempang punya potensi untuk jadi pusat investasi produksi kaca untuk kebutuhan photovoltaics (PV) yang jadi bahan baku panel surya dan semikonduktor.
Indonesia dianggap bisa menjadi negara alternatif di tengah banyaknya perseteruan dagang antar negara. Terlebih, komoditas yang dikembangkan yakni bahan baku panel surya dan semikonduktor yang jadi kebutuhan baru dunia.***
(sumber : westjavatoday.com)
Social Plugin