Fenomena Pedagang Tanah Abang yang Merugi dan Sepi, Social Commerce Disebut Bisa Bantu UMKM

 



HELOBEKASI.COM, JAKARTA - Pedagang di Pasar Tanah Abang, Jakarta, meminta pemerintah menutup Tiktok Shop. Platform social commerce itu dinilai sangat merugikan pedagang, karena harga yang dijual di sana terlalu murah.

Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki sudah melihat dan mendengar sendiri kondisi Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, yang lengang. Teten sempat berbincang dengan para pedagang saat mengunjungi Blok A Pasar Tanah Abang. Di sana, ia mendengar banyak keluhan dari pedagang.

Teten mengatakan saat ini banyak influencer dari kalangan publik figur yang mempromosikan produk impor di platform digital e-commerce maupun social commerce. Aktivitas promosi mereka dianggap telah merugikan pedagang UMKM di pasar fisik maupun pasar digital.

"Memang banyak influencer figur di kalangan artis di medsos yang punya followers banyak mempromosikan produk dari luar. Mungkin ini salah satu penyebabnya [usaha UMKM terpuruk]," ujar Teten di Pasar Tanah Abang Blok A, Selasa (19/9/2023).

Teten menduga adanya arus deras barang impor berupa barang konsumsi yang masuk ke Indonesia dengan harga yang sangat murah. Hal tersebut membuat produk lokal sulit bersaing secara offline maupun online. Padahal, dari segi kualitas produk lokal dinilai lebih baik dari produk impor. "Ini sangat murah (harganya) enggak masuk akal," katanya.

Ada Pedagang yang Terbantu dengan TikTok Shop

Di tengah rencana Pemerintah yang melarang TikTok Shop terus berjalan di Indonesia sebagai tindak lanjut dari Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 tahun 2020 tentang ketentuan perizinan usaha periklanan, pembinaan, dan pengawasan pelaku usaha dalam perdagangan melalui sistem elektronik.

Namun, rupanya tak semua pedagang mengeluhkan platform marketplace tersebut. Rupanya, ada beberapa pedagang yang merasa terbantu saat penjualan offline mereka sepi pengunjung. Salah satunya pedagang di kawasan Tanah Abang yang dimana saat semuanya beralih ke online, Nadia, yang merupakan salah seorang pemilik toko di kawasan ini pun mulai ikut beralih.

Nadia telah bergabung dengan TikTok Shop selama setahun, dan keputusannya tersebut terbukti berhasil mendatangkan cuan di luar musim haji dan lebaran. Pasalnya, hampir kebanyakan pedagang di Tanah Abang menjual barang serupa yakni perlengkapan haji serta pakaian muslim. Rata-rata hanya menjelang momen haji maupun lebaran saja toko mereka ramai dipadati pembeli.

"Saat bulan Ramadhan, banyak orang datang ke toko kami di Tanah Abang untuk mendapatkan parcel dan suvenir. Musim haji juga menjadi waktu di mana orang-orang biasanya membeli oleh-oleh. Namun, selama sepuluh bulan sisanya, sepi. Sekarang, dengan adanya TikTok Shop, kami fokus menjual secara online. Kami memiliki lebih banyak konsumen dari berbagai daerah, bahkan dari Papua, Timika, Kalimantan, dan Sulawesi, karena harganya lebih terjangkau. Kami menawarkan diskon besar kepada reseller dengan harga grosir. Yang pasti, berbelanja tidak lagi memerlukan perjalanan ke Tanah Abang, karena cukup melalui keranjang TikTok Shop," ungkap Nadia, pemilik akun @TokoPutriBungsu kepada media, Selasa (19/9/2023).

Dijelaskan lebih lanjut, setiap harinya Nadia, yang berperan sebagai host, harus melakukan siaran langsung di TikTok. Meskipun awalnya dia merasa malu dan meratapi bahwa hanya sedikit yang menonton, Nadia akhirnya mantap untuk mengasah kemampuan berbicaranya di depan kamera. Toko Putri Bungsu telah berhasil mempekerjakan 11 karyawan dan menciptakan lapangan kerja baru.

"Siaran langsung ini benar-benar membantu kami yang sebelumnya hanya mengandalkan pendapatan dari penjualan konvensional kepada orang-orang yang datang langsung ke Tanah Abang. Sejak TikTok Shop hadir, konsumen kami menjadi lebih beragam. Meskipun ada platform lain yang memiliki fitur siaran langsung untuk penjualan online, kami kini lebih fokus pada TikTok Shop karena pendapatan yang lebih besar," kata Nadia.

Nadia juga menyoroti wacana pemisahan fitur jualan di TikTok Shop yang telah mencuat. Pertanyaannya adalah mengapa tidak boleh berjualan di media sosial? Perbedaannya sangat terasa. Orang-orang yang berbelanja di TikTok sebenarnya mungkin tidak berniat untuk berbelanja, tetapi ketika mereka melihat konten yang menghibur yang kami buat dan melihat produk secara langsung, minat mereka tumbuh.

"Orang yang awalnya hanya mencari hiburan akhirnya malah berbelanja," tambah Nadia.

Menurut Nadia, saat penontonnya sedikit itu dikarenakan konten yang disajikan monoton dan biasa-biasa saja. Namun ketika Nadia mulai menggarapnya dengan konsep menarik, siaran langsung mereka justru hingga saat ini semakin diminati penonton. Bahkan, satu konten yang mereka buat pernah ditonton hingga 3 juta kali.

Seorang affiliator TikTok Shop, Nahda Nabilla, pun mengaku bahwa konten yang menghibur bisa menjadi alasan utama pembeli datang. Nahda, yang memiliki lebih dari 300 ribu pengikut, sering menyajikan konten pemasaran dengan pendekatan yang lembut. Ini juga menjadi kebiasaan di kalangan pengguna TikTok lain yang bergabung dalam program afiliasi.

"Awalnya kita akan merasa kesulitan saat melakukan siaran langsung di TikTok. Selama sebulan atau dua bulan pertama, kita mungkin akan terlihat seperti orang gila, berbicara sendiri di depan ponsel. Itu memalukan, tetapi hasilnya akan terlihat seiring berjalannya waktu dan konsistensi. Saat kita melihat keranjang belanja terisi, itu menjadi semangat bagi kita," kata Nahda.

Menurut Nahda, siaran langsung di TikTok Shop berbeda dari platform lainnya. Platform lain tidak memungkinkan interaksi langsung dan tidak menyediakan keranjang belanja langsung.

"Terkadang kita harus beralih ke aplikasi lain untuk bertransaksi, yang bisa sangat merepotkan. Dalam situasi seperti itu, konsumen cenderung tidak berbelanja karena prosesnya harus beralih dari satu aplikasi ke aplikasi lain," tambah Nahda.

Oleh karena itu, Nahda berpendapat bahwa jika pemerintah memutuskan untuk memisahkan TikTok dari TikTok Shop, itu akan berdampak tidak hanya pada penjual tetapi juga pada affiliator seperti dirinya dan pemilik UMKM pada umumnya.

"Selain itu, lapangan pekerjaan tidak akan terbuka secara luas. Bahkan mungkin orang-orang yang bergantung pada penjualan online akan mengalami penurunan," tutupnya.

Pengamat Sebut Social Commerce Justru Bantu UMKM

Peningkatan tren e-commerce di media sosial, termasuk live shopping, telah membuka peluang baru bagi Usaha Kecil Mikro dan Menengah (UMKM) di Indonesia untuk memasarkan produk mereka secara online. 

Istilah ini disebut social commerce, bentuk perdagangan elektronik yang melibatkan media sosial dan media online yang mendukung interaksi sosial, dan kontribusi pengguna untuk membantu pembelian dan penjualan produk dan jasa secara online. 

Pengamat Ekonomi Digital Ignatius Untung Surapati menegaskan  social commerce (s-commerce) tidak merugikan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dan justru bisa bantu mendongkrak penjualan.

Hal ini ia sampaikan merespons pemerintah yang menilai bahwa s-commerce dapat menggerus UMKM. Pemerintah juga beranggapan jika sebuah platform seharusnya menjalankan fungsinya masing-masing, media sosial saja atau e-commerce saja, bukan berfungsi ganda.

"Social commerce itu tidak merugikan UMKM. Banyak UMKM yang jualannya luar biasa, ya karena adanya social commerce. Social commerce itu tidak punya dampak negatif apapun terhadap UMKM," kata dia

Menurut Untung, seharusnya pemerintah tidak menyalahkan keberadaan social commerce ketika penjual UMKM ada yang merugi. Ia menyebut bahwa kedua hal itu tak ada kaitannya.

"Jadi itu persaingan bisnis, bukan masalah online offline, enggak. Tidak ada hubungan merugikan. Walaupun tidak berhasil, bukan karena social commerce yang merugikan, tapi memang karena dia tidak bisa bersaing," tegas dia.

Untung juga menilai aturan aktivitas sosial media dan e-commerce harus dipisahkan tidak logis. Dia membandingkan aktivitas pengguna e-commerce dengan para pengunjung mall yang sama-sama memiliki tujuan untuk belanja.

"Kalau mall itu dianggap sebagai tempat belanja, coret, enggak boleh ada tempat mainan, ada bioskop, enggak boleh. Ini tempat hiburan, enggak boleh digabung sama orang jualan. Kan harusnya begitu kalau kita mengacu kepada bahwa sosial media itu enggak boleh digabung sama tempat jualan. Logikanya di mana?" tegas Untung.

Menurut dia, social commerce seperti TikTok Shop kini bisa menjadi booming karena penggunanya cenderung mencari hiburan yang kemudian algoritma membuatnya melihat sesuatu yang relevan sehingga mendorongnya untuk belanja.***

(sumber : westjavatoday.com)