Tegas! Malaysia Tolak Klaim Sepihak Negeri Tirai Bambu dalam Peta Baru 'Laut China Selatan'

 



HELOBEKASI.COM, JAKARTA - Malaysia menolak Peta Standar China Edisi 2023 yang menunjukkan klaim sepihak atas wilayah maritim Malaysia berdasarkan Peta Baru Malaysia 1979.

Kementerian Luar Negeri (KLN) Malaysia dalam pernyataan media yang diakses di Kuala Lumpur, Kamis, mengatakan Malaysia secara konsisten menolak klaim kedaulatan, hak kedaulatan dan yurisdiksi pihak asing manapun atas kawasan maritim negara tersebut berdasarkan Perjanjian Baru Peta Malaysia 1979.

Kementerian Sumber Daya Alam China pada Senin (28/8), mengeluarkan Peta Standar China Edisi 2023 di mana, menurut Wisma Putra (KLN Malaysia), antara lain menunjukkan klaim maritim sepihak China yang melewati kawasan maritim Sabah dan Sarawak.

Selain tidak mengakui klaim China di Laut China Selatan yang tertuang dalam peta tersebut, Wisma Putra juga mengatakan peta itu sama sekali tidak mengikat Malaysia.

KLN mengatakan Malaysia berpandangan bahwa permasalahan Laut Cina Selatan merupakan persoalan yang kompleks dan sensitif. Permasalahan itu perlu ditangani secara damai dan rasional melalui dialog dan negosiasi berdasarkan ketentuan hukum internasional, termasuk Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982).

Malaysia berkomitmen untuk terus bekerja sama memastikan semua pihak menerapkan Deklarasi Perilaku Para Pihak di Laut Cina Selatan (DOC) secara komprehensif dan efektif.

Selain juga berkomitmen terhadap Kode Etik yang efektif dan substantif dalam proses negosiasi Laut Cina Selatan (COC), serta tujuan penyelesaian COC sedini mungkin, demikian menurut pernyataan itu.

Malaysia Tegaskan Komitmen Kedaulatan di Laut China Selatan

 Pemerintah Malaysia menegaskan dan berkomitmen untuk mempertahankan kedaulatan, hak berdaulat dan kepentingan di wilayah maritimnya di Laut China Selatan seperti tertuang dalam Peta Baru Malaysia 1979.

Dalam keterangan pers yang dikeluarkan Kementerian Luar Negeri (KLN) Malaysia di Putrajaya pada Sabtu, disebutkan bahwa Malaysia berpendirian teguh bahwa isu-isu yang berkaitan dengan Laut China Selatan harus diselesaikan secara damai dan konstruktif berdasarkan hukum internasional, termasuk Konvensi PBB tentang Hukum Laut Tahun 1982 (UNCLOS 1982).

Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim pada sesi rapat kerja Perdana Menteri di Parlemen pada 4 April 2023 juga menyatakan setiap masalah yang terkait dengan Laut China Selatan harus dibahas atau diselesaikan secara damai menggunakan platform yang ada.

Penyelesaian juga dilakukan melalui jalur diplomatik dan tanpa mempengaruhi kedaulatan, hak berdaulat dan kepentingan nasional, untuk menghindari peningkatan ketegangan (eskalasi) dan ancaman atau penggunaan kekuatan (threat or use of force).

Keterangan itu juga menyebutkan bahwa dalam upaya bersama untuk memastikan Laut China Selatan tetap menjadi laut yang damai, stabil, dan aman untuk jalur perdagangan, Malaysia akan terus melakukan pendekatan diplomasi dalam berhubungan dengan negara lain, termasuk China.

Pendekatan tersebut sejalan dengan ketentuan yang tertuang dalam Deklarasi Perilaku Para Pihak di Laut China Selatan (DOC), yang antara lain menyelesaikan konflik secara damai dan menghindari ancaman atau penggunaan kekuatan, sebagaimana disepakati oleh Negara Anggota ASEAN dan China pada 2002.

Pendekatan negosiasi juga sedang diambil oleh negara-negara anggota ASEAN dan China untuk menyelesaikan kode etik di Laut China Selatan.

ASEAN dan China berkomitmen pada proses tersebut untuk menghasilkan kode etik berdasarkan hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982.

Jubir Kementerian Luar Negeri China: Semua Pihak Harap Tidak Berlebihan Menafsirkan Peta Baru China

Sementara itu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin mengutarakan harapannya agar setiap pihak tidak berlebihan dalam menafsirkan peta baru negara tersebut.

"Kami berharap pihak-pihak terkait dapat tetap objektif dan tenang, serta menahan diri dari menafsirkan masalah ini secara berlebihan," kata Wang Wenbin dalam keterangan kepada media di Beijing, China pada Rabu.

Kementerian Sumber Daya Alam China merilis peta tersebut bersamaan dengan Pekan Kesadaran Pemetaan Nasional China dan Hari Publisitas Survei dan Pemetaan, Peta Standar 2023, pada Selasa (29/8). Isi peta tersebut mengklaim wilayah di India, perairan Malaysia, hingga dekat Indonesia.

Peta tersebut mencakup wilayah yang disengketakan dengan negara-negara tetangga termasuk klaim wilayah Arunachal Pradesh dan Aksai Chin di India, Taiwan, hingga Laut China Selatan.

"Pada 28 Agustus, Kementerian Sumber Daya Alam China merilis peta standar edisi 2023. Ini adalah praktik rutin dalam pelaksanaan kedaulatan China sesuai dengan hukum," tambah Wang.

Menanggapi peluncuran peta baru ini, juru bicara Kementerian Luar Negeri India, Arindam Bagchi mengatakan sudah mengajukan protes keras melalui saluran diplomatik.

Sumber ketegangan antara kedua negara tetangga ini adalah sengketa perbatasan sepanjang 3.440 km di sepanjang Himalaya yang tidak memiliki batas yang jelas.

Kehadiran sungai, danau, dan hamparan salju membuat garis tersebut dapat berpindah di beberapa tempat.

Peta terbaru China itu disebut mencakup bagian wilayah maritim zona eksklusif ekonomi (ZEE) Malaysia dekat Sabah dan Sarawak, Brunei, Filipina, Indonesia, dan Vietnam.

Menurut Konvensi Hukum Laut Internasional, di wilayah perairan tersebut, negara mempunyai hak untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber daya alam hayati maupun nonhayati.***

(sumber : westjavatoday.com)