Tradisi Saptonan di Kuningan: Refleksi Kekeluargaan Rakyat dengan Pemerintah

  


HELOBEKASI.COM, Kuningan - Gelaran kearifan lokal tradisi Kuningan, Sapton atau Saptonan dan Panahan Tradisional  menjadi daya tarik yang tidak bisa lepas menjadi tontonan dan tuntunan masyarakat Kuningan untuk menyaksikannya. 

Setelah 2 tahun vakum akibat pandemi Covid-19, akhirnya tradisini ini  kembali digelar oleh Pemerintah Kabupaten Kuningan dalam rangka memperingati Hari Jadi Kuningan ke-524, di Lapangan Sepak Bola Desa Ancaran, Kecamatan Kuningan, Kamis (1/9).

Rangkaian acara ini selalu diringi dengan Parade keprajuritan, Atraksi seni dari tiap-tiap kademanagan, seba kademanagan ke raja (Bupati), ketangkasan berkuda, dan panahan tradisional. Sehingga ketika kita menyaksikan terasa berada dijaman dahulu, hal ini karena dukungan pakaian tradisional dan iringan musik kasundaan.

Acara dimulai dengan Tari Persembahan dan Tari Panahan, Doa, dan Pembacaan Sinopsis Sapton. Dalam gelaran tersebut, di ceritakan tentang Kerajaan Kajene (Kuningan) kembali menampakan diri dengan raja, atau adipati, patih, mantri jero, hingga para tumenggungnya.

Dengan pakaian jaman kerajaannya,  tampak lima Kawadanan beserta pasukannya beriringan satu persatu untuk menampilkan atraksi seni, seba dan keunikan lainnya ke bupati atau raja. Dilanjutkan laporan dari pupuhu demang dan langsung di balas oleh bupati atau raja.

Selanjutnya, penyerahan seba dari tiap kawedanan dan penyerahan simbolis tombak dan panah kepada Jugul dan peserta panahan oleh bupati/raja. Serta atraksi kejuaraan ketangkasan berkuda, diakhiri dengan panahan tradisional oleh Forkopimda.

“Tradisi Saptonan dan Panahan Tradisional menggambarkan Kerajaan Kajene (Kuningan) pada jaman dahulu, yang sekarang ditampilkan dalam kemasan atraksi pagelaran budaya dengan keunikan yang demikian menarik,” ungkap Bupati H. Acep Purnama, dalam rilisnya, dikutip Sabtu (3/9/2022).

Bupati Acep menerangkan, Dahulu, Saptonan merupakan acara rutin setiap hari Sabtu setelah kegiatan seba upeti (persembahan hasil bumi) yang dilaksanakan di sekitar Kerajaan Kajene, kegiatan ini mempunyai makna demikian mendalam seperti, heroisme, dan patriotisme dalam bela negara, serta kebersamaan antara pemerintah dan rakyatnya. 

Intinya, Saptonan sebagai refleksi dalam menjalin kehidupan sosial masyarakat, rasa kekeluargaan antara rakyat dan pemerintahnya.

Bupati berharap budaya yang bernilai sejarah dan tradisi tinggi ini bisa menjadi ciri mandiri atau icon Kabupaten Kuningan yang memiliki kekayaan keindahan alam luar biasa.

Kepala Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata Kabupaten Kuningan Toto menyebutkan,  para peserta Saptonan ini terdiri dari Adipati (sekarang bupati), Patih (Wakil Bupati), Mantri Jero (Sekda), Gedeng (Asisten Daerah/Kadis), Demang (Camat), dimana Kademangan di Kuningan terdiri dari Sura Adipati (wilayah Kecamatan Kuningan), Jaya Giri (wilayah Kecamatan Cilimus), Mandala Jaya (wilayah Kecamatan Ciawigebang), Raksa Kancana Jaya (wilayah Kecamatan Luragung), dan Bratasana Jaya (wilayah Kecamatan Kadugede).

“Selain itu ada tumenggung, sekarang kepala desa atau lurah, prajurit adalah para staf kecamatan atau desa dan kelurahan, serta gundal atau jugul yakni juru pelihara kuda dan kusir,” ucapnya.

Ia menuturkan, Saptonan ini pernah meraih penghargaan penampilan terunik pada ajang Festival Olahraga Tradisional Tingkat Nasional (Fotradnas) ke-12 di Solo beberapa waktu silam. Dan itu dapat dijadikan event bergengsi untuk menarik kunjungan wisatawan baik dari dalam maupun luar negeri. 

Sedangkan untuk peserta ketangkasan berkuda, yakni mereka yang telah menguasai keahlian menunggang kuda. 

“Di acara kali ini hanya 20 orang yang telah direkomendasikan organisasi Pendokar Kuningan, sementara untuk peserta Panahan Tradisional dari anggota Perpani Kabupen Kuningan,” pungkas Toto.  ***