HELOBEKASI.COM, Bandung - Seorang hakim sebenarnya bisa memaafkan seseorang yang bersalah dalam melakukan tindak pidana ringan atau tidak serius. Pada istilah hukum, sikap ini disebut rechterlijk pardon (pemaafan hakim). Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) 2019 merumuskan konsep ini dalam Pasal 54 Ayat (2) yang menyatakan bahwa:
“(2) Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan Tindak Pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.”
Menurut Prof. Nico Keijzer dengan diterapkannya rechterlijk pardon atau pemaafan hakim akan memajukan sistem peradilan pidana di Indonesia di mana hakim bertindak sebagai katup atau pintu darurat dalam suatu pemidanaan. Artinya pula yang dimaksud “katup” ialah hakim diberikan wewenang sebagai pemegang keputusan terakhir apakah terdakwa atau pelaku dapat dimaafkan perbuatannya, sehingga tidak perlu berlarut-larut melewati proses peradilan yang berkepanjangan.
Pemaafan Hakim dan Keadilan Restoratif
Indonesia sebagai negara yang menanut sistem welfare states (negara kesejahteraan) seharusnya menerapkan konsep rechterlijk pardon. Dengan menerapkan konsep ini, maka akan memberikan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) yang prinsipnya menghindari penjatuhan pidana penjara khususnya bagi tindak pidana ringan dan menekankan tujuan pemidanaan yang menjunjung asas kemanfaatan yang menekankan pada pemidanaan terdakwa yang dapat memberikan manfaat kepada masyarakat secara luas.
Tujuan diterapkannya restorative justice juga sebagai cerminan welfare states, artinya negara turut hadir dalam hal rakyatnya memiliki suatu masalah, dan peran dari negara itu sendiri adalah mengayomi masyarakat nya supaya terwujudnya kesejahteraan negara. Maka, sudah seharusnya konsep pemaafan hakim diberlakukan di dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dan disahkan dalam KUHP.
Saat ini, substansi KUHP terlalu terpaku kepada adanya kesalahan pada tindak pidana tanpa menekankan tujuan serta asas dalam pemidanaan. Meskipun sudah ada pertimbangan hakim yang mengandung nilai pemaafan dalam beberapa putusan pidana namun belum ada landasan hukum yang menjatuhkan pemaafan dari hakim di dalam KUHP.
Kasus Nenek Minah
Tidaklah mengherankan apabila penerapan hukum di Indonesia cenderung dianggap masyarakat sebagai hukum yang berpihak pada kalangan atas dan kejam kepada kalangan bawah. Tidak asing pula bagi kita istilah “hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas”. Sebagai contoh ketidakberpihakan penegak hukum terhadap masyarakat dapat dicontohkan pada kasus nenek Minah pada tahun 2009 yang mencuri biji kakao yang tergeletak di bawah pohon, bahkan ia sempat mengembalikannya kepada pemiliknya. Nenek Minah tetap dijatuhi hukuman pidana atas tindak pidana ringan tersebut.
Dapat dibayangkan di usianya yang sudah tua dan memiliki keadaan ekonomi yang sulit, nenek Minah harus dipenjara hanya karena mengambil tiga buah biji kakao. Dalam hal ini hakim harus dapat bertindak di luar ketentuan undang-undang dalam rangka memberikan rasa keadilan kepada masyarakat sehingga tugas hakim bukanlah sebagai “corong” undang-undang saja, melainkan sebagai penegak hukum yang memiliki integritas yang tinggi.
Merujuk pada sistem rechterlijk pardon, apabila hakim diberi mandat atau wewenang untuk memaafkan perbuatan yang dilakukan nenek Minah maka putusan pengadilan tentunya akan dinilai lebih adil; sebab apabila hakim masih memiliki nurani ia akan memaafkan perbuatan nenek Minah dan mencoba meyakinkan para pihak yang terkait supaya diselesaikan secara kekeluargaan.
Dari putusan hakim tersebut, terlihat bahwa penerapan hukum di Indonesia belum memiliki penerapan alternatif yang menjunjung keadilan umum. Seperti yang dikatakan di awal, penerapan hukum pidana di Indonesia cenderung fokus terhadap rasa keadilan terhadap korban saja padahal keadilan harus lah diberikan kepada seluruh masyarakat Indonesia, tidak hanya terhadap korban akan tetapi pelaku juga berhak menerima keadilan.
Keadilan yang diterima oleh pelaku ini harus diartikan secara jelas bahwasannya apa yang telah pelaku perbuat hukumannya haruslah setimpal dengan apa yang telah ia lakukan. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Cesare Beccaria, “Punishment should be fit the crime,” sehingga tidaklah serta merta seseorang melakukan suatu tindak pidana lalu dapat dihukum secara sesukanya oleh para penegak hukum.
Untuk itu tujuan pemidanaan seharusnya menjunjung keadilan dan mengayomi masyarakat yang haknya tercederai, dengan diterapkan konsep pemaafan hakim. Maka jika ke depannya terdapat tindak pidana ringan yang memiliki berbagai faktor yang dapat menjadi pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana dapat direalisasikan.
Untuk itu pula hati nurani hakim harus berperan penting dalam hal menangani suatu kasus pidana. Sebab, hukum pidana ini sendiri bagaikan “pisau bermata dua” artinya hukum pidana dapat memberikan keadilan yang sejati namun dapat pula memberikan suatu nestapa yang tak diinginkan oleh pihak yang dirugikan.
Pemaafan Hakim tidak Membuat Hukum Lemah
Penerapan pemaafan hakim tidak membuat hukum menjadi lemah, hukum harus tetap tegas dengan tindak pidana yang merugikan banyak pihak tanpa terkandung nilai yang dapat dimaafkan di dalamnya. Namun, tetap harus ada wadah bagi hakim untuk memberikan pemaafan demi menjunjung tinggi nilai keadilan serta tujuan pemidanaan yang berfokus pada asas keadilan, kemanfaatan, serta pengayoman masyarakat.
Konsep rechterlijk pardon mengedepankan asas kemanfaatan sebagai tujuan pemidanaan, maka secara implisit juga merumuskan bahwa, jika pemidanaan dipandang tidak memiliki manfaat untuk mencegah pelaku mengulangi kesalahannya ataupun tidak memberi manfaat pada masyarakat luas dan malah menimbulkan keresahan masyarakat karena tidak menjunjung norma di masyarakat, hakim dapat memberikan pemaafannya.
Asas kemanfaatan ini bagian dari keadilan restoratif yang membuat tujuan hukuman bukan berorientasi untuk pembalasan, namun lebih kepada pendidikan dan penyadaran kepada tersangka dan menghindari stigma buruk di masyarakat. Pemidanaan juga harus berorientasi pada tujuan bagi pelaku untuk tidak mengulangi tindak pidananya lagi, serta manfaat untuknya ke depannya, tidak semata-mata pada pembalasan.
George Bernard Shaw mengatakan, “Jika Anda menghukum orang untuk membalas, Anda mesti menyakiti dia. Jika Anda ingin meluruskan, Anda mesti memperbaiki dia. Dan manusia tak menjadi baik kalau disakiti.” Maka, jika dipandang pemidanaan tidak ada manfaatnya bagi pelaku dan masyarakat sekitar, hakim dapat memberikan pemaafaannya.
Untuk mengedepankan tujuan pemidanaan yang berorientasi pada keadilan restoratif, asas kemanfaatan dan pengayoman masyarakat, sudah seharusnya konsep rechterlijk pardon (pemaafan hakim) disahkan di dalam KUHP, konsep ini mengedepankan keadilan dan mencegah adanya pemidanaan yang tidak adil karena terdapat wadah untuk hakim memaafkan.
Banyak kasus hukum pidana yang memiliki berbagai keadaan yang dapat diberi pemaaafan dan diberi putusan lepas oleh hakim. Dengan memberikan wadah untuk pemaafan hakim juga bukan serta merta dapat bebas memberikan pemaafan, tetap banyak pertimbangan yang harus dipenuhi untuk memberi putusan lepas pada tersangka. Dengan melegalkan rechterlijk pardon, maka konsep ini terdapat dalam sistem peradilan pidana, maka juga harus dimasukkan dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Saat ini, belum ada rumusan eksplisit tentang rechterlijke pardon. Demi tujuan pemidanaan di Indonesia serta keadilan yang tetap memberikan kepastian hukum, maka konsep ini sudah seharusnya konsep ini disahkan di dalam KUHP serta diberlakukan dalam sistem peradilan pidana.***
Social Plugin